Sabtu, 19 Januari 2008

gender

PRINSIP KESETARAAN GENDER

PRINSIP KESETARAAN GENDER

  1. Pendahuluan

Salah satu isu yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah masalah gender. Masalah ini merebak ke permukaan sebagai wacana aktual dalam kerangka pemikiran Islam. Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan sisi-sisi problematis baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) telah melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai nilai implementatif di dalam kehidupan budaya. Persepsi sebagian masyarakat menunjukkan bahwa jenis kelamin akan menentukan peran seseorang yang akan diemban dalam masyarakat. Jenis kelamin telah dijadikan sebagai atribut gender yang senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat. Penentuan seperti ini telah melahirkan bias gender yang merugikan perempuan.

Fakta ini akan sangat menarik bila dihubungkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an sangat bijak berbicara tentang masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya.

Dalam masyarakat Islam, perempuan memperoleh kedudukan yang terhormat yang tidak didapatkan sebelumnya. Tidak satu pun hukum atau system aturan buatan manusia yang memberikan hak-hak kepada perempuan sebanding dengan Islam. Ini karena Islam membawa prinsip kesetaraan universal antarmanusia, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dan Allah pun menciptakan manusia dari asal yang sama. Seperti dalam ayat Al-qur’an yang berbunyi :

Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” ( QS. al-Hujurat / 49 : 13).

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari nafs yang satu, yang darinya telah Ia ciptakan istrinya, dan dari keduanya Ia perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS. al-Nisa / 4 : 1).

Maka Tuhan mengabulkan permohonan mereka (dengan informasi) Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriaman di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain” (QS. Ali ‘Imron /3 : 195 ).

Jadi, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena yang satu berasal dari yang lain : Laki-laki berasal dari perempuan dan perempuan juaga berasal dari dari laklaki, tidak ada perbedaan dalam substansi kodratinya.

Prinsip yang dibawa Al-Qur’an mengenai gender ini telah diberikan pemahaman yang beragam oleh ulama tafsir dan ulama fiqh. Akibatnya relasi ideal antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk Allah SWT pada taraf tertentu telah terjadi distorsi, yang mana pihak yang satu menjadi superior terhadap pihak lain. Penafsiran terhadap teks agama yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam akal telah menjadikan ia bagian inferior dari laki-laki. Akibatnya perempuan telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuai dengan perannya dalam masyarakat. Gambaran abstrak ini dapat disimak dalam lintasan sejarah perempuan di dunia Islam.

  1. Konsep Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut HT.Wilson memahami konsep gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Meskipun kata gender belum termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut telah lazim digunakan. Khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan dengan ejaan “jender” dan diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.

  1. Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki.Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1,”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan pasangannya adalah istri beliau yakni Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.

Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195, “Sebagian kamu adalah bahagian dari sebagian yang lain”. Ayat ini mengandung makna bahwa sebahagian kamu (laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya. Allah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 159, “Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”

Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan, “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya” (QS. An-Nisa’: 32)

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.

Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.

Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kitab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.

3. Kesetaraan Hak dan Kewajiban

Islam menempatkan laki-laki dan perempuan, dalam berbagai bidang hak dan kewajiban –sesuai kaidah umum secara setara. Sebagai acuannya adalah firman Alllah Swt. : “Bagi laki-laki ada perolehan dari yang usahakan, dan bagi perempuan juga ada perolehan dari yang mereka usahakan” (QS.al-Nisa’ / 4 : 32); “ Siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengerjakan amal saleh dalam keadaan beriman, sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan beri balasan kepada mereka pahala yang lebih baik dari yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Nahl/ 16 : 97)

  1. Persamaan Dalam Hak Mendapat Pengajaran

Islam menyejajarkan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mendapat pengajaran. Masing-masing berhak memperoleh berbagai macam bidang ilmu, sastra, dan wawasan yang disukainya. Rasulullah Saw. bersabda , “ Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” Al-qur’an menganjurkan usaha-usaha memperoleh ilmu bagi semua insane tanpa ada pembedaan gender. Banyak sudah ayat Al-qur’an yang menegaskan pengertian ini, “ Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. al-Mujadilah / 58 : 11).

Islam juga tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaan. Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran yang bisa ditanganinya dan yang tidak bertentanagan dengan kodratnya.

5. Penutup

Secara umum Al-Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (QS. Ar-Rum: 21), sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam satu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbul ghafur) (QS. Saba’: 15). Konsepsi tentang relasi gender dalam Islam mengacu kepada ayat-ayat esensial yang sekaligus menjadi tujuan umum syariat (maqashid as-syariah) seperti mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS. An-Nahl: 90), keamanan dan ketentraman, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan (QS. Ali Imran: 104). Nilai keadilan, tingkat keamanan, ketentraman dan nilai keburukan merupakan nilai-nilai yang bersifat universal.Citra perempuan ideal dalam Al-Quran tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah dunia Islam. Citra perempuan yang diidealkan Al-Quran ialah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal as-siayasah; QS. Al-Mumtahanah: 12) sebagaimana sosok Ratu Balqis, perempuan penguasa yang mempunyai kerajaan laha’ arsyun ‘adhim; (QS. An-Naml: 23). Perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtisadi; QS. An-Nahl: 97), seperti pandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, perempuan pengelola peternakan (QS. Al-Qashas: 23) dan perempuan yang memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal as-syakhi: QS. At-Tahrim: 11) yang diyakini kebenarannya. Perempuan juga dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan kemungkaran (QS. At-Taubah: 71) dan bahkan Al-Quran menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (QS. An-Nisa’: 5) karena laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi sebagai khalifatullah fi al-ard dan hamba Allah SWT.




Senin, 05 November 2007

SYARAT-SYARAT EVALUATOR

SYARAT MENJADI EVALUATOR SEBAGAI BERIKUT:

  1. Mampu melaksanakan, adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik.
  2. Cermat, adalah mereka dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, adalah mereka tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.
  4. Sabar dan objektif, adalah agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan bertanggung jawab, adalah melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.

Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat dikalsifikasikan menjadi dua macam, yaitu evaluator dalam (internal evaluator) dan evaluasi luar (eksternal evaluator).

Internal Evaluator adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari internal evaluator yaitu:

Kelebihan:

Pertama, Evaluator memahami betul program yang dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain evaluasi tepat pada sasaran. Kedua, Karena evaluator aalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.

Kekurangan:

Pertama, Adanya unsure sebjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif. Kedua, Karena sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehinga kurang cermat.

Eksternal Evaluator adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri, maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.

Kelebihan:

Pertama, Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada kepentingan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan kenyataan dan keadaan. Kedua, Seorang ahli yang dibayar biasanya akan memprtahankan kredibibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.

Kekurangan:

Pertama, Evaluator luar adalah orang baru yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dn mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Kedua, Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.

Untuk menghasilkan evaluasi yang baik, maka petugas evaluasi harus berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program digabung dengan orang-orang dari luar. Sedangkan perbedaan menonjol antara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya salah satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak-tahu menahu dan tidak berkepantingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.

Selasa, 23 Oktober 2007

RESENSI BUKU EVALUASI PENDIDIKAN

RESENSI BUKU

Judul Buku : Evaluasi Pendidikan

Pengarang : Drs. H. Daryanto


Penerbit : Rineka Cipta Jakarta


Tebal Buku : 227 halaman

Cetakan : Ketiga April 2005

Buku ini menyajikan pembahasan tentang evaluasi pendidikan yang telah disesuaiakan dengan silabus kurikulum nasional starata 1, yakni konsep dasar evaluasi pendidikan, klasifikasi tujuan instruksional, tekinik evaluasi, pengukuran ranah kognitif, afektif, dan psikomotor daalm pendidikan agama islam, prosedur pelaksanaan evaluasi, analisis butir-butir instrument evaluasi, dan interpretasi nilai evaluasi.

Evaluasi, seperti yang kita lihat, adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan daalm diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Jenis evaluasi menurut fungsinya ada dua: evaluasi formatif dan evluasi sumatif, evaluiasi sumatif merangkap semua efek program yang menunjukkan keluaran (output) dari proram yang bersangkutan. Oleh karena itu. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk mengukur keluaran agar diperoleh indicator mengenai pengubahan program, baik ynag menyangkut struktur maupun proses.

Sebelum melakukan evaluasi, sebaiknya kita harus mengukur dahulu, karena mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, penilaian bersifat kualitatif.. mengadakan evaluasi meliputi kedua langkah tersebut, yaitu mengukur dan menilai.

Evaluasi pendidikan adalah kegiatan menilai yang terjadi dalam kegiatan pendidikan, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga daapt diupayakan tindak lanjutnya. Evaluasi pendidikan sangat bermanfaat bagi siswa, guru dan sekolah. Manfaat bagi siswa yaitu dapat mengetahui sejauh mana telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Manfaat bagi guru yaitu akan daapt mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhak melanjutkan pelajarnnnya karena sudah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil menguasai bahan.

Macam-macam tes ada empat :

  • Tes penempatan
  • Tes formatif
  • Tes diagnostik
  • Tes sumatif

Fungsi evaluasi adalah untuk perbaikan sistem, pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat, penentuan tindak lanjut hasil pengembangan.

Prinsip-prinsip evaluasi ada lima : keterpaduan, keterlibatan siswa, koherensi, pedagogis, akuntabilitas

Teknik evaluasi ada dua :

1. teknik non tes :

· Skala bertingkat (rating scale)

· Kuesioner, daftar (questionaire)

· Daftar cocok (chek-list)

· Wawancara (interview)

· Pengamatan (observation)

· Riwayat hidup

2. teknik tes :

· Tes diagnostik

· Tes formatif

· Tes sumatif

Jenis-jenis tujuan pendidikan, pertama , tujuan institutioanal, adalah tujuan masing-masing instituí atau lembaga. Kedua, tujuan kurikuler adalah tujuan dari masing-masing bidang studi. Ketiga, tujuan instruksional yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaranyang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur.

Ada dua macam tujuan instruksional :

  1. Tujuan instruksional umum (TIU)
  2. Tujuan instruksional khusus (TIK)

Data-data operasional mencakup :

v Cognitive domain : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi.

v Affective domain : resiving, responding, valuing, organizing, characterization by value or value complex

v Psikomotor domain : muscular or motor skills, manipulation of materials or objects, neuromuscular coordination.

Kondisi demonstrasi adalah komponen TIK yang menyatakan suatu kondisi atau situasi yang dikenakan kepada siswa pada saat ia mendemonstrasikan tingkah laku akhir. Standar keberhasilan adalah komponen TIK yang menunjukkan seberapa jauh tingkat keberhasialn yang dituntut oleh penilai bagi tingkah laku pelajar pada situasi akhir.

Berbagai teknik evaluasi. Pertama, measurement model, model ini dipandang sebagai model tertua di daalm sejarah evaluasi. Kedua, congruence model, model dipandang sebagai reaksi terhadap model pertama. ketiga, educational system evaluation model, model ini sebagai reaksi dari model terdahulu yang telah dibahas.

Ada tiga jenis pengukuran :

· Ranah kognitif : pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, penilaian.

· Ranah afektif : menerima, menjawab, menilai, organisasi, karakteristik.

· Ranah psikomotorik : keterampilan motorik, manipulasi, benda-benda, koordinasi neuromuscular, menghubungkan, mengamati.

Pekerjaan mengevaluasi harus ada prosedur tersendiri, meskipun perlu untuk ditekankan, bahwa pekerjaan mengevaluasi itu lebih tepat untuk dipandang sebagai suatu proses yang kontinu. Suatu kontinous proses yang tidak terputus-putus, tetapi ada gunanya juga mengetahui prosedur apa sajakah yang merupakan titik-titik penghubung proses yang bersifat kontinu tadi.

Langkah-langkah pokok prosedur evaluasi :

· Langkah perencanaan

· Langkah pengumpulan data

· Langkah spesifikasi data

· Langkah pengolahan data

· Langkah penafsiran data

Hasil pengukuran memiliki fungsi utama untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta didik. Hasil pengukuran secar umum dapat dikatakan bisa membantu, memperjelas tujuan instruksional, memnentukan kebutuhan peserta didik, dan menentukan keberhasilan peserta didik dalam suatu proses pembelajaran.

Langkah meningkatkan daya serap peserta didik :

· Memperjelas tujuan instruksional

· Penilaian awal yang menentukkan kebutuhan peserta didik

· Memonitor kemajuan peserta didik

Pada akhirnay penggal waktu proses pembelajaran, antara lain akhir catur wulan,akhir semester, akhir tahun ajaran , akhir jenjang persekolahan diperluakn suatu laporan kemajuan peserta didik, yang selanjutunya merupakan laporan kemajuan sekolah. Laporan ini akan memberikan bukti sejauh mana tujuan pendidikan yang diharapkan oleh anggota masyarakat khususnya orang tua peserta didik dapat tercapai.

Analisis butir-butir soal :

· Taraf kesukaran

· Daya pembeda

· Pola jawaban soal

Beberapa skala penilaian :

· Skala bebas

· Skala 1-10

· Skala 10-100

· Skala huruf

Kelebihan dari buku ini adalah adanya rumus-rumus dan comtoh-contoh soal sehingga pembaca dapat memahaminya dan menerapkannya. Kekurangannya adalah kurang lengkapnya pokok pembahasan tentang evaluasi pendidikan dibanding dengan buku-buku lain yang menjelaskan tentang evaluasi pendidikan.

Nama : Siti Memah

Nim : 104018200638

Jur/smt/kls : KI-MP VII A

Selasa, 02 Oktober 2007

tugas ke-4 JENIS-JENIS VALIDITAS

JENIS-JENIS VALIDITAS

Validitas atau kesahihan menunjukan pada kemampuan suatu instrumen (alat pengukur) mengukur apa yang harus diukur (…. a valid measure if it succesfully measure the phenomenon), seseorang yang ingin mengukur tinggi harus memakai meteran, mengukur berat dengan timbangan, meteran, timbangan merupakan alat ukur yang valid dalah kasus tersebut. Dalam suatu penelitian yang melibatkan variabel/konsep yang tidak bisa diukur secara langsung, maslah validitas menjadi tidak sederhana, di dalamnya juga menyangkut penjabaran konsep dari tingkat teoritis sampai tingkat empiris (indikator), namun bagaimanapun tidak sederhananya suatu instrumen penelitian harus valid agar hasilnya dapat dipercaya.

Mengingat pentingnya masalah validitas. Maka tidak mengherankan apabila Para Pakar telah banyak berupaya untuk mengkaji masalah validitas serta membagi validitas ke dalam beberapa jenis, terdapat perbedaan pengelompokan jenis-jenis validitas

Menurut Ebel (dalam Nazir 1988) ada 9 jenis-jenis validitas:

1. Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.

2. Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.

3. Face Validity adalah validitas yang berhubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.

4. Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, dimana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.

5. Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.

6. Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bahwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur.

7. Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja seseorang di masa mendatang.

8. Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.

9. Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pengukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).

Sedangkan menurut Elazar Pedhazur validitas yang umum dipakai tripartite classification yakni Content, Criterion dan Construct, sementara Kenneth Bailey mengelompokan tiga jenis utama validitas yaitu : Face validity, Criterion Validity, dan construct validity, dengan catatan face validity cenderung dianggap sama dengan content validity. Berikut ini akan dikemukakan beberapa jenis validitas yaitu :

1. Validitas Rupa (Face validity).

Adalah validitas yang menunjukan apakah alat pengukur/instrumen penelitian dari segi rupanya nampak mengukur apa yang ingin diukur, validitas ini lebih mengacu pada bentuk dan penampilan instrumen. Menurut Djamaludin Ancok validitas rupa amat penting dalam pengukuran kemampuan individu seperti pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan.

2. Validitas isi (Content Validity).

Validitas isi berkaitan dengan kemampuan suatu instrumen mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Ini berarti bahwa suatu alat ukur mampu mengungkap isi suatu konsep atau variabel yang hendak diukur. Misalnya test bidang studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut, pengukuran motivasi harus mampu mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin penentuan validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan dasar ini Dia berpendapat bahwa validitas isi berbeda dengan validitas rupa yang kurang menggunakan analisis logis yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi biasanya juga mempunyai validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.

3. Validitas kriteria (Criterion validity).

Adalah validasi suatu instrumen dengan membandingkannya dengan instrumen-pengukuran lainnya yang sudah valid dan reliabel dengan cara mengkorelasikannya, bila korelasinya signifikan maka instrumen tersebut mempunyai validitas kriteria. Terdapat dua bentuk Validitas kriteria yaitu : Validitas konkuren (Concurrent validity), Validitas ramalan (Predictive validity). Validitas konkuren adalah kemampuan suatu instrumen pengukuran untuk mengukur gejala tertentu pada saat sekarang kemudian dibandingkan dengan instrumen pengukuran lain untuk konstruk yang sama. Validitas ramalan adalah kemampuan suatu instrumen pengukuran memprediksi secara tepat dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Contohnya apakah test masuk sekolah mempunyai validitas ramalan atau tidak ditentukan oleh kenyataan apakah terdapat korelasi yang signifikan antara hasil test masuk dengan prestasi belajar sesudah menjadi siswa, bila ada, berarti test tersebut mempunyai validitas ramalan

4. Validitas konstruk (Construct Validity).

Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang diukurnya. Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya, karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria.

Tipe-tipe umum pengukuran validitas

1) Validitas isi

Validitas isi merupakan validitas yang diperhitumgkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah "sejauhmana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?" atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.

Pengertian "mencakup keseluruhan kawasan isi" tidak saja menunjukkan bahwa alat ukur tersebut harus komprehensif isinya akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur.

Walaupun isi atau kandungannya komprehensif tetapi bila suatu alat ukur mengikutsertakan pula item-item yang tidak relevan dan berkaitan dengan hal-hal di luar tujuan ukurnya, maka validitas alat ukur tersebut tidak dapat dikatakan memenuhi ciri validitas yang sesungguhnya.

Apakah validitas isi sebagaimana dimaksudkan itu telah dicapai oleh alat ukur, sebanyak tergantung pada penilaian subjektif individu. Dikarenakan estimasi validitas ini tidak melibatkan komputasi statistik, melainkan hanya dengan analisis rasional maka tidak diharapkan bahwa setiap orang akan sependapat dan sepaham dengan sejauhmana validitas isi suatu alat ukur telah tercapai.

Selanjutnya, validitas isi ini terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis).

a) Face Validity (Validitas Muka). Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikasinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan validitas muka telah terpenuhi.

Dengan alasan kepraktisan, banyak alat ukur yang pemakaiannya terbatas hanya mengandalkan validitas muka. Alat ukur atau instrumen psikologi pada umumnya tidak dapat menggantungkan kualitasnya hanya pada validitas muka. Pada alat ukur psikologis yang fungsi pengukurannya memiliki sifat menentukan, seperti alat ukur untuk seleksi karyawan atau alat ukur pengungkap kepribadian (asesmen), dituntut untuk dapat membuktikan validitasnya yang kuat.

b) Logical Validity (Validitas Logis). Validitas logis disebut juga sebagai validitas sampling (sampling validity). Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.

Untuk memperoleh validitas logis yang tinggi suatu alat ukur harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya item yang relevan dan perlu menjadi bagian alat ukur secara keseluruhan. Suatu objek ukur yang hendak diungkap oleh alat ukur hendaknya harus dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkrit. Batasan perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikatnya item-item yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari objek ukur yang seharusnya masuk sebagai bagian dari alat ukur yang bersangkuatan.

Validitas logis memang sangat penting peranannya dalam penyusunan tes prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atau tabel spesifikasi.

2) Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauhmana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya (Allen & Yen, dalam Azwar 1986).

Pengujian validitas konstruk merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.

Walaupun pengujian validitas konstruk biasanya memerlukan teknik analisis statistik yang lebih kompleks daripada teknik yang dipakai pada pengujian validitas empiris lainnya, akan tetapi validitas konstruk tidaklah dinyatakan dalam bentuk koefisien validitas tunggal.

Konsep validitas konstruk sangatlah berguna pada alat ukur yang mengukur trait yang tidak memiliki kriteria eksternal.

3) Validitas Berdasar Kriteria

Pendekatan validitas berdasar kriteria menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh skor alat ukur.

Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria dilakukan komputasi korelasi antara skor alat ukur dengan skor kriteria. Koefisien ini merupakan koefisien validitas bagi alat ukur yang bersangkutan, yaitu rxy, dimana x melambangkan skor alat ukur dan y melambangkan skor kriteria.

Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas yaitu validitas prediktif (predictive validity) dan validitas konkuren (concurrent validity).

Validitas Prediktif. Validitas prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai prediktor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya.

Contohnya adalah sewaktu kita melakukan pengujian validitas alat ukur kemampuan yang digunakan dalam penempatan karyawan. Kriteria yang terbaik antara lain adalah kinerjanya setelah ia betul-betul ditempatkan sebagai karyawan dan melaksanakan tugasnya selama beberapa waktu. Skor kinerja karyawan tersebut dapat diperoleh dari berbagai cara, misalnya menggunakan indeks produktivitas atau rating yang dilakukan oleh atasannya.

Koefisien korelasi antara skor alat ukur dan kriteria merupakan petunjuk mengenai saling hubungan antara skor alat ukur dengan skor kriteria dan merupakan koefisien validitas prediktif. Apabila koefisien ini diperoleh dari sekelompok individu yang merupakan sampel yang representatif, maka alat ukur yang telah teruji validitasnya akan mempunyai fungsi prediksi yang sangat berguna dalam prosedur alat ukur di masa datang.

Prosedur validasi prediktif pada umumnya memerlukan waktu yang lama dan mungkin pula biaya yang tidak sedikit dikarenakan prosedur ini pada dasarnya bukan pekerjaan yang dianggap selesai setelah melakukan sekali tembak, melainkan lebih merupakan kontinuitas dalam proses pengembangan alat ukur. Sebagaimana prosedur validasi yang lain, validasi prediktif pada setiap tahapnya haruslah diikuti oleh usaha peningkatan kualitas item alat ukur dalam bentuk revisi, modifikasi, dan penyusunan item-item baru agar prosedur yang dilakukan itu mempunyai arti yang lebih besar dan bukan sekedar pengujian secara deskriptif saja.

Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.

Suatu contoh dimana validitas konkuren layak diuji adalah apabila kita menyusun suatu skala kecemasan yang baru. Untuk menguji validitas skala tersebut kita dapat mengunakan skala kecemasan lain yang telah lebih dahulu teruji validitasnya, yaitu dengan alat ukur TMAS (Tylor Manifest Anxiety Scale).

Validitas konkuren merupakan indikasi validitas yang memadai apabila alat ukur tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik. Bila alat ukur dimaksudkan sebagai prediktor maka validitas konkuren tidak cukup memuaskan dan validitas prediktif merupakan keharusan.

Selasa, 25 September 2007

tugas 3.pada matakuliah (evaluasi program pend)

Nama Siswa : Raja Adien Al-Hifdzi
Kelas : VI (enam)
Nomor Induk : 170607
Semester : II (dua)
Nama Madrasah :MI-AL-JAUHARATUNAQIYAH
Tahun Pelajaran : 2006/2007
Alamat Madrasah :CILEGON BANTEN



No.

Mata pelajaran

Nilai

Prestasi hasil belajar

Rata-rata kelas

1

Pendidikan agama islam





a. Al-Qur’an hadist

Penguasaan ilmu/pengetahuan

9,00

8,30

Penerapan/pengalaman

8,00

8,25

Sikap beragama

8,50

8,10


b. Akidah dan akhlak

Penguasaan ilmu/pengetahuan

8,00

8,00

Penerapan/pengalaman

8,50

8,05

Sikap beragama

8,00

8,00


c. Fiqih

Penguasaan ilmu/pengetahuan

8,00

8,30

Penerapan/pengalaman

8,50

8,20

Sikap beragama

8,70

8,00


d. sejarah kebudayaan islam

Penguasaan ilmu/pengetahuan

9,05

8,38

Sikap beragama

8,50

8,20

2

Pendidikan kewarganegaraan dan pengetahuan sosial

Penguasaan ilmu/pengetahuan

8,00

8,25

Keterampilan sosial

7,50

3,25

Sikap sosial

8,20

8,10

3

Bahasa





a. Bahasa indonesia

Membaca

8,90

8,40

Menulis

8,50

8,25



Berbicara

8,70

8,50

Mendengarkan

8,70

8,35

Apresiasi sastra

8,60

8,25


b. Bahasa arab

Membaca

8,55

8,10

Menulis

8,15

7,80



berbicara

8,00

7,50

Mendengarkan

8,50

8,00

4

Matematika

Berhitung/bilangan

8,65

8,45

Geometri dan pengukuran

8,25

8,50

Pengelolaan Data

8,10

8,50

5

Pengetahuan alam

Penguasaan ilmu/pengetahuan

8,70

8,15



Keterampilan pengetahuan alam

8,50

8,28

Sikap ilmiah

8,60

8,15

6

Kerajinan tangan dan kesenian

Seni Rupa

9,05

8,25

Seni Musik

8,35

8,30

Seni Tari



Kerajinan

8,60

8,28

7

Pendidikan jasmani

Permainan dan Olahraga

8,20

8,25

Pengembangan Diri

8,00

8,10

Senam

8,40

8,25

Pilihan……………………….



8

Muatan Lokal

a. B.inggris

b…………………

c……………………





8,25

8,25







Jumlah nilai prestasi hasil belajar : 309,60 (tiga ratus sembilan, enam puluh lima)

Kegiatan ekstrakurikuler

Nilai

1. Pramuka

cukup Baik

2. Paskibra

Baik

3. PMR

cukup baik

Mengetahui Mengetahui:

Orang Tua/Wali Kepala Madrasah

………………………. …………………..

Pengembangan diri dan pembiasaan

Nilai

1. Kedisiplinan dan tanggung jawab

cukup baik

2. Kebersihan dan kerapihan

cukup baik

3. Kerjasama

Baik

4. Kesopanan

Baik

5. Kemandirian

Baik

6. Kerajinan

cukup Baik

7. Kejujuran

Baik

8. Kepemimpinan

Baik

9. Ketaatan

Baik

Ketidakhadiran

Jumlah Hari

1. Sakit

3

2. Izin

1

3. Tanpa keterangan

2

Catatan

Untuk menghadapi ujian nanti, belajarlah dengan lebih giat dan rajin lagi, serta tingkatkan prestasi belajarmu.

Diberikan di : cilegon banten

Tanggal : 24 agustus 2007

Mengetahui Guru Kelas

Kepala Madrasah

H. GHUFRON,LC UMUN FADILAH S.pd