PRINSIP KESETARAAN GENDER
Pendahuluan
Salah satu isu yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah masalah gender. Masalah ini merebak ke permukaan sebagai wacana aktual dalam kerangka pemikiran Islam. Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan sisi-sisi problematis baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) telah melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai nilai implementatif di dalam kehidupan budaya. Persepsi sebagian masyarakat menunjukkan bahwa jenis kelamin akan menentukan peran seseorang yang akan diemban dalam masyarakat. Jenis kelamin telah dijadikan sebagai atribut gender yang senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat. Penentuan seperti ini telah melahirkan bias gender yang merugikan perempuan.
Fakta ini akan sangat menarik bila dihubungkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an sangat bijak berbicara tentang masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
Dalam masyarakat Islam, perempuan memperoleh kedudukan yang terhormat yang tidak didapatkan sebelumnya. Tidak satu pun hukum atau system aturan buatan manusia yang memberikan hak-hak kepada perempuan sebanding dengan Islam. Ini karena Islam membawa prinsip kesetaraan universal antarmanusia, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dan Allah pun menciptakan manusia dari asal yang sama. Seperti dalam ayat Al-qur’an yang berbunyi :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” ( QS. al-Hujurat / 49 : 13).
” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari nafs yang satu, yang darinya telah Ia ciptakan istrinya, dan dari keduanya Ia perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS. al-Nisa / 4 : 1).
“ Maka Tuhan mengabulkan permohonan mereka (dengan informasi) Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriaman di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain” (QS. Ali ‘Imron /3 : 195 ).
Jadi, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena yang satu berasal dari yang lain : Laki-laki berasal dari perempuan dan perempuan juaga berasal dari dari laklaki, tidak ada perbedaan dalam substansi kodratinya.
Prinsip yang dibawa Al-Qur’an mengenai gender ini telah diberikan pemahaman yang beragam oleh ulama tafsir dan ulama fiqh. Akibatnya relasi ideal antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk Allah SWT pada taraf tertentu telah terjadi distorsi, yang mana pihak yang satu menjadi superior terhadap pihak lain. Penafsiran terhadap teks agama yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam akal telah menjadikan ia bagian inferior dari laki-laki. Akibatnya perempuan telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuai dengan perannya dalam masyarakat. Gambaran abstrak ini dapat disimak dalam lintasan sejarah perempuan di dunia Islam.
Konsep Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut HT.Wilson memahami konsep gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Meskipun kata gender belum termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut telah lazim digunakan. Khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan dengan ejaan “jender” dan diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.
Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki.Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1,”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan pasangannya adalah istri beliau yakni Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195, “Sebagian kamu adalah bahagian dari sebagian yang lain”. Ayat ini mengandung makna bahwa sebahagian kamu (laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya. Allah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 159, “Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan, “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya” (QS. An-Nisa’: 32)
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kitab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.
3. Kesetaraan Hak dan Kewajiban
Islam menempatkan laki-laki dan perempuan, dalam berbagai bidang hak dan kewajiban –sesuai kaidah umum secara setara. Sebagai acuannya adalah firman Alllah Swt. : “Bagi laki-laki ada perolehan dari yang usahakan, dan bagi perempuan juga ada perolehan dari yang mereka usahakan” (QS.al-Nisa’ / 4 : 32); “ Siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengerjakan amal saleh dalam keadaan beriman, sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan beri balasan kepada mereka pahala yang lebih baik dari yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Nahl/ 16 : 97)
Persamaan Dalam Hak Mendapat Pengajaran
Islam menyejajarkan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mendapat pengajaran. Masing-masing berhak memperoleh berbagai macam bidang ilmu, sastra, dan wawasan yang disukainya. Rasulullah Saw. bersabda , “ Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” Al-qur’an menganjurkan usaha-usaha memperoleh ilmu bagi semua insane tanpa ada pembedaan gender. Banyak sudah ayat Al-qur’an yang menegaskan pengertian ini, “ Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. al-Mujadilah / 58 : 11).
Islam juga tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaan. Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran yang bisa ditanganinya dan yang tidak bertentanagan dengan kodratnya.
5. Penutup
Secara umum Al-Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (QS. Ar-Rum: 21), sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam satu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbul ghafur) (QS. Saba’: 15). Konsepsi tentang relasi gender dalam Islam mengacu kepada ayat-ayat esensial yang sekaligus menjadi tujuan umum syariat (maqashid as-syariah) seperti mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS. An-Nahl: 90), keamanan dan ketentraman, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan (QS. Ali Imran: 104). Nilai keadilan, tingkat keamanan, ketentraman dan nilai keburukan merupakan nilai-nilai yang bersifat universal.Citra perempuan ideal dalam Al-Quran tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah dunia Islam. Citra perempuan yang diidealkan Al-Quran ialah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal as-siayasah; QS. Al-Mumtahanah: 12) sebagaimana sosok Ratu Balqis, perempuan penguasa yang mempunyai kerajaan laha’ arsyun ‘adhim; (QS. An-Naml: 23). Perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtisadi; QS. An-Nahl: 97), seperti pandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, perempuan pengelola peternakan (QS. Al-Qashas: 23) dan perempuan yang memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal as-syakhi: QS. At-Tahrim: 11) yang diyakini kebenarannya. Perempuan juga dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan kemungkaran (QS. At-Taubah: 71) dan bahkan Al-Quran menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (QS. An-Nisa’: 5) karena laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi sebagai khalifatullah fi al-ard dan hamba Allah SWT.